Di tanah Papua, khususnya wilayah Pegunungan Tengah, ada satu pakaian tradisional yang tak lekang dimakan waktu yaitu Koteka. Terbuat dari labu air yang dikeringkan dan dibentuk mengerucut, koteka menjadi penutup kemaluan pria sekaligus simbol harga diri, keberanian, dan identitas budaya.
Di Lembah Baliem, koteka bukan sekadar busana, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketua Lembaga Masyarakat Adat Jayawijaya, Herman Doga, menyebut bahwa masyarakat Papua Pegunungan mengenakannya dalam berbagai kesempatan mulai dari kegiatan adat, penyambutan tamu penting, hingga karnaval dan perayaan kemerdekaan.
Lebih dari Sekadar Penutup Tubuh
Koteka dipasang dengan tali di pinggang, dengan posisi ujung mengarah ke atas. Ukuran dan hiasannya bisa mengungkapkan status sosial seseorang. Bagi masyarakat setempat, mengenakan koteka berarti menunjukkan kedewasaan dan jati diri sebagai laki-laki Papua sejati.
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya juga aktif menghidupkan tradisi ini, mengajak generasi muda untuk bangga mengenakannya dalam acara resmi maupun kegiatan budaya. Bahkan, koteka sering menjadi bagian dari Festival Budaya Lembah Baliem yang memikat wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Simbol yang Bertahan di Tengah Perubahan
Meski dunia terus berubah, koteka tetap bertahan di tengah modernisasi. Udara dingin pegunungan yang bisa mencapai 11°C diatasi dengan baluran minyak babi dan kehangatan honai, rumah adat beratap rendah yang menahan hawa hangat di dalamnya.
Koteka tidak boleh dilihat sebagai tanda keterbelakangan. Sama seperti kebaya, beskap, atau baju bodo, koteka adalah busana yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Ia adalah bagian dari mozaik Bhinneka Tunggal Ika perbedaan yang menyatukan.